TintaOtentik.co – Pembaruan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi langkah penting yang kini tengah diupayakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Melalui Rancangan Undang-Undang KUHAP yang baru, DPR berupaya membenahi ketimpangan mendasar dalam sistem peradilan pidana nasional, yakni ketidakseimbangan posisi antara negara dan warga negara yang berhadapan dengan hukum.
Secara esensial, KUHAP mengatur proses hukum pidana yang melibatkan negara dan warga negara. Negara diwakili oleh aktor-aktor penegak hukum seperti penyidik—yang umumnya berasal dari kepolisian, penuntut umum dari kejaksaan, hingga hakim yang memutus perkara di pengadilan. Di sisi lain, warga negara yang menjadi tersangka atau terdakwa, secara teoritis didampingi oleh advokat sebagai penyeimbang dalam proses hukum.
Namun dalam kenyataannya, dominasi negara dalam sistem peradilan sangat terasa. Penegak hukum memiliki kewenangan luas dan sumber daya yang jauh lebih besar dibanding warga negara biasa. Instrumen kekuasaan yang dimiliki aparat penegak hukum—mulai dari penyitaan, penangkapan, penahanan, hingga pemidanaan—sering kali dihadapkan pada kondisi warga yang minim pengetahuan hukum, lemah secara ekonomi, dan tidak memiliki akses pada kekuasaan atau keadilan yang setara.
Kondisi timpang ini kerap melahirkan praktik-praktik yang menyimpang dari prinsip keadilan. Tidak sedikit kasus di mana warga negara dijatuhi hukuman padahal tidak terbukti bersalah, atau dihukum tidak proporsional dengan kesalahannya. Risiko terbesar dari ketidakseimbangan ini adalah munculnya ketidakadilan sistemik dalam penegakan hukum.
“Sejak zaman kolonial Belanda, sebenarnya telah ada kesadaran akan pentingnya pengaturan hukum acara pidana untuk menghindari kesewenang-wenangan negara terhadap warganya. Prinsip ini pula yang menjadi pijakan penyusunan KUHAP. Namun KUHAP yang berlaku saat ini belum mampu menghapus ketimpangan yang ada,” terang Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman.
Ia menjelaskan, KUHAP saat ini masih membuka banyak celah yang memungkinkan negara bersikap represif terhadap warga negara yang dituduh melanggar hukum. Hak-hak dasar tersangka sering kali diabaikan, sementara posisi advokat sebagai pembela justru sering dipersempit ruang geraknya.
“Peran advokat seharusnya menjadi benteng pertama dalam melindungi hak-hak warga negara dalam proses hukum. Tapi dalam praktiknya, banyak kekerasan terhadap tersangka terjadi saat mereka tidak didampingi advokat,” jelasnya.
RUU KUHAP baru hadir sebagai jawaban atas berbagai persoalan tersebut. Dalam naskah RUU yang disusun, DPR memasukkan sejumlah ketentuan yang memperkuat perlindungan terhadap tersangka serta memperluas peran advokat dalam pendampingan hukum.
Salah satu poin penting yang diusulkan adalah diberikannya kewenangan bagi advokat untuk juga mendampingi saksi dalam proses pemeriksaan. Advokat bahkan diberi ruang untuk secara aktif menyampaikan keberatan jika terjadi intimidasi atau kekerasan selama proses hukum berlangsung. Mekanisme ini diyakini akan memperkecil peluang terjadinya penyimpangan yang selama ini kerap terjadi di ruang-ruang tertutup penyidikan.
Tak hanya itu, kehadiran kamera pengawas dalam ruang pemeriksaan juga diwajibkan dalam RUU tersebut. Ketentuan ini diharapkan menjadi instrumen pengawasan yang konkret untuk mencegah kekerasan serta membangun akuntabilitas aparat penegak hukum.
Habiburokhman menambahkan bahwa meski banyak pihak menyoroti isu kewenangan antar lembaga penegak hukum, RUU KUHAP tidak memuat perubahan struktur atau pemindahan kewenangan antar institusi. “Bukan karena kami tidak melihat adanya masalah relasi antar lembaga. Tapi kami tidak ingin fokus utama pembaruan KUHAP ini—yakni mengatasi ketimpangan antara negara dan warga negara—justru tergeser oleh potensi konflik antarlembaga,” ujarnya.
Menurutnya, tugas dan wewenang masing-masing aparat penegak hukum telah diatur dalam undang-undang sektoral. Jika diperlukan penyesuaian atau perbaikan terhadap kewenangan lembaga, maka hal itu akan dibahas dalam pembaruan undang-undang yang mengatur institusi terkait secara spesifik.
Dengan langkah-langkah yang dirancang dalam RUU KUHAP ini, DPR berharap tercipta sistem peradilan pidana yang lebih berimbang, menjunjung tinggi prinsip keadilan, dan menempatkan hak-hak warga negara pada posisi yang lebih terlindungi.