Artikel ini Ditulis Oleh Uten Sutendy (Budayawan)
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) kini memiliki anggaran fantastis yang melampaui angka Rp4 triliun.
Sebuah nominal yang luar biasa jika menilik luas wilayah kota yang relatif kecil serta pesatnya partisipasi swasta dalam bentuk investasi dan pengembangan properti.
Angka ini semestinya mampu menjadi katalis akselerasi pembangunan kota menuju kota layak huni dan berdaya saing tinggi.

Namun, pertanyaan kritis muncul: ke mana sebenarnya dana sebesar itu dialirkan? Apa saja capaian riil yang dapat dibanggakan dari realisasi anggaran tersebut dalam konteks keberlanjutan pembangunan dan kualitas hidup warganya?
Tangsel memang telah memiliki berbagai landmark pembangunan, mulai dari Taman Kota 2, Tandon Ciater, Gallery City, hingga Menara Pandang.
Namun, banyak dari fasilitas tersebut kini terlihat terbengkalai, tak terurus, bahkan nyaris kehilangan fungsi awalnya.
Alih-alih menjadi ruang publik yang hidup, inklusif, dan produktif, banyak fasilitas justru menjadi monumen bisu pembangunan.
Ironisnya, ketika infrastruktur telah dibangun dengan biaya tinggi, tidak ada langkah lanjutan berupa pengelolaan berkelanjutan, strategi aktivasi ruang, atau integrasi program sosial-ekonomi warga.
Inilah yang disebut banyak pihak sebagai “pembangunan tanpa jiwa”—berorientasi pada bentuk fisik semata, tapi miskin konsep jangka panjang.
Padahal, semestinya setiap ruang publik memiliki blueprint pengelolaan, rencana aktivasi komunitas, hingga pemetaan dampak sosial dan ekonomi lokal.
Tak hanya ruang publik, program-program strategis sejumlah dinas juga sering kali mandek di tengah jalan.
Banyak inisiatif yang berhenti di tataran seremoni atau pilot project semata, tanpa keberlanjutan dan pengukuran hasil yang jelas.
Kota Kaya, Tapi Tak Terasa Dengan anggaran sebesar Rp4 triliun lebih, Tangsel seharusnya bisa menjadi kota yang progresif dan responsif terhadap tantangan urbanisasi.
Namun, yang terjadi justru kerap kali menyisakan tanda tanya:
Apakah pembangunan memang sekadar memenuhi target proyek tahunan, bukan menghadirkan transformasi sosial jangka panjang?
Jika demikian, maka tak heran jika muncul kekhawatiran bahwa Kota Tangsel sedang tersandera oleh praktik pembangunan seremonial.
Di mana keberadaan proyek bukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat, tetapi sebatas laporan keberhasilan fisik semata.
Di Mana Peran Para Ahli dan Pendamping Profesional? Dengan anggaran sebesar ini, sudah selayaknya Pemkot didampingi oleh para profesional dan akademisi yang mumpuni.
Namun, publik nyaris tak mendengar kontribusi mereka. Siapa mereka? Apa perannya dalam mendesain arah pembangunan?
Pertanyaan itu makin relevan mengingat banyak program pembangunan berjalan tanpa rujukan konseptual yang kuat, apalagi kajian dampak yang komprehensif.
Bila benar mereka adalah para expert yang digaji mahal, mengapa program strategis kota justru kehilangan arah dan ritme keberlanjutan?
Sustainable City atau Sekadar Kota Baru?
Kota modern bukan hanya soal infrastruktur megah. Ini soal bagaimana pembangunan dirancang untuk menjawab masa depan: ekologi yang terjaga, ekonomi lokal yang tumbuh, serta masyarakat yang terlibat aktif.
Sayangnya, Tangsel tampak berjalan tanpa roadmap pembangunan berkelanjutan yang utuh. Banyak fasilitas dibangun tanpa pemanfaatan maksimal, bahkan terkesan lepas tanggung jawab setelah peresmian.
Kita patut berharap agar anggaran yang sangat besar itu tidak hanya berhenti pada pembangunan fisik, melainkan juga diarahkan untuk pemberdayaan manusia, penguatan komunitas, dan konservasi lingkungan.
Jika tidak, maka Tangsel akan menjadi kota yang ironis: kaya anggaran, tapi miskin dampak, miskin impact. [***]