TintaOtentik.Co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti lemahnya integritas tata kelola pemerintahan di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI), sebanyak tujuh dari sembilan pemerintah daerah (pemda) di Provinsi Banten masuk ke dalam kategori merah atau rentan karena nilai capaiannya di bawah 72,9.
Berdasarkan data yang BANPOS terima, hanya Kota Tangerang Selatan dan Kota Tangerang yang lolos dari zona merah dengan skor masing-masing 76,25 dan 75,22.
Sementara itu, dalam data tersebut diketahui, Pemprov Banten meraih nilai 71,21, Kabupaten Tangerang 71,03, Kabupaten Lebak 70,87, Kabupaten Serang 70,06, Kabupaten Pandeglang 67,14, dan Kota Cilegon menjadi yang terendah dengan 66,16.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah II KPK, Brigjen (Pol) Bahtiar Ujang Purnama, menyebutkan bahwa rapor merah ini sebagai sinyal kuat perlunya perombakan sistem pengawasan dan pencegahan korupsi.
“Daerah se-Banten itu perlu banyak perbaikan tata kelola, terutama di integritasnya. Kami sudah merekomendasikan langkah strategis melalui MCSP (Monitoring Center for Prevention) agar komunikasi dua arah antara daerah dan KPK lebih terarah,” ujar Ujang kepada wartawan usai kegiatan rapat koordinasi penguatan sinergi pemberantasan korupsi yang digelar di Pendopo Gubernur Banten, KP3B, Selasa, (12/8).
Ia mengatakan, MCSP berisi indikator dan target perbaikan yang harus dipenuhi setiap perangkat daerah. Namun, ia mengingatkan, panduan umum tidak akan cukup mempercepat perbaikan.
“Kalau hanya secara general saja, tidak akan ada percepatan. Masing-masing dinas harus punya alat ukur sendiri sesuai tupoksi,” tegasnya.
Ujang menyebutkan, pihaknya juga mendorong pembentukan desk pengawasan yang melibatkan BPKP, Ombudsman, kejaksaan, dan kepolisian.
Sebab menurutnya, jika mengandalkan inspektorat internal saja tidak cukup kuat menekan pelanggaran.
“Evaluasi harus rutin, bahkan bulanan, sampai ke tingkat kabupaten dan kota,” terangnya.
Ujang juga katakan, hal yang paling disoroti adalah mengenai pengadaan barang dan jasa (PBJ) sebagai titik rawan terbesar, mulai dari mark-up harga, laporan fiktif, pengaturan pemenang lelang, hingga spesifikasi barang yang tidak sesuai.
“PBJ ini kan perputaran uangnya besar sekali. Potensi suap, gratifikasi, dan pemerasan sangat tinggi. Kadang pejabatnya sendiri yang aktif mencari keuntungan,” kata Ujang.
“Modus ini kerap kali ditemukan termasuk manipulasi laporan kegiatan. Misalnya kegiatan yang seharusnya lima hari hanya dikerjakan dua hari, atau lokasi kegiatan dipangkas, tapi di laporan tetap dicatat penuh,” tambahnya.
Selain PBJ, Ujang juga mengatakan jika masalah dalam pengelolaan pengaduan masyarakat, manajemen ASN, dan penyusunan APBD sebagai potensi-potensi yang membuat 7 kabupaten kota masuk ke dalam kategori rentan.
Menurutnya, ada indikasi jual beli jabatan, lemahnya pengawasan antarpegawai, dan proses Musrenbang yang tidak optimal.
“Dalam penyusunan APBD, proses musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) ini juga belum optimal, termasuk kelengkapan dokumen berita acara dan kesesuaian dengan RPJMD. Waktu jadi krusial, karena kalau molor, risiko memasukkan kepentingan tambahan itu besar,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kategori merah menunjukkan dua hal, yakni publik belum merasakan penuh manfaat program pemerintah, dan banyak program yang dikerjakan namun tidak tersosialisasi.
“Seribu kebaikan yang tidak diketahui publik akan kalah oleh satu masalah yang terekspos. Kalau masyarakat dijadikan responden, yang diingat biasanya justru hal yang buruk,” ujarnya.
Untuk itu, KPK meminta pemerintah daerah memperkuat fungsi humas dan membuka komunikasi publik secara transparan.
Menurutnya, informasi yang jelas dan rutin disampaikan akan membantu meningkatkan kepercayaan publik sekaligus nilai SPI.
“Satu hal kecil yang negatif itu terus diingat, sedangkan seribu hal baik dilupakan. Itu kan kurang fair,” katanya.
Ia menegaskan, perbaikan integritas membutuhkan kerja kolektif seluruh unsur pemerintahan.
“Harapan kita sederhana: masyarakat bisa merasakan langsung dampak positifnya. Kalau sekarang masih merah, artinya kita semua harus kerja lebih keras,” pungkasnya.
Sementara itu, Gubernur Banten Andra Soni menegaskan komitmennya dalam memperbaiki tata kelola dan memerangi praktik korupsi.
“Praktik korupsi adalah musuh bersama yang harus kita lawan, karena merusak kepercayaan masyarakat dan menghambat kemajuan daerah,” kata Andra.
Ia memaparkan, sejumlah program prioritas, mulai dari sekolah gratis untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pembangunan infrastruktur desa melalui program Bang Andra, hingga peningkatan layanan kesehatan dan penguatan ekonomi daerah.
“Kami terus memperkuat sinergi dengan pihak-pihak terkait dalam mencegah, mendeteksi, dan menindak setiap potensi korupsi,” tegasnya.
Terpisah, Wakil Gubernur Banten, A Dimyati Natakusumah, mengingatkan pentingnya perencanaan yang berpihak pada aspirasi publik.
“Jangan sampai perencanaan itu top down, tetapi harus bottom up sesuai keinginan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Dimyati, pencegahan korupsi harus menyentuh seluruh rantai proses, mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
“Kalau setiap tahap dikawal dengan baik, potensi penyimpangan bisa ditekan,” tandasnya.
Laporan: Tim