TintaOtentik.Co – Masalah geopolitik yang melibatkan militer memang seringkali terjadi, bahkan Indonesia yang menanut paham non-blok juga seringkali mengalaminya.
Misalnya ketika Indonesia sempat menolak permintaan pesawat mata-mata milik Amerika Serikat yang meminta untuk mendarat di Indonesia.
Menurut Reuters, peristiwa ini terjadi pada tahun 2020 lalu, di mana Indonesia telah menolak permintaah AS tersebut.
Laporan DW, dalam artikel berjudul “Indonesia telah menolak mengizinkan pesawat patroli AS mendarat dan mengisi bahan bakar sebanyak empat kali”, mengungkapkan bahwa, empat pejabat senior Indonesia menolak AS sebanyak empat kali pada tahun 2020.
Pada saat itu, AS meminta untuk mendaratkan pesawat patroli anti-kapal selam maritim P-8 Poseidon AS.
Permintaan AS untuk mendarat adalah untuk mengisi bahan bakar di Indonesia.
Pasalnya, pada saat itu juga Amerika memiliki kebijakan anti-Tiongkok yang cukup agresif, seiring dengan memanasnya situasi di Laut China Selatan.
Sikap Amerika tersebut, dianggap membuat kawasan Asia Tenggara gelisah, sehingga memberikan izin ke AS saja dianggap tidak bisa diterima.
Para pejabat Indonesia mengatakan usulan AS tersebut, yang muncul pada saat Amerika Serikat dan China tengah bersaing untuk memperluas pengaruh mereka di Asia Tenggara.
Tindakan AS ini merupakan kejutan bagi pemerintah Indonesia, yang telah lama menjalankan kebijakan luar negeri yang netral.
Indonesia tidak pernah mengizinkan pasukan asing beroperasi di Indonesia.
Pesawat patroli antikapal selam maritim P-8 Poseidon memainkan peran utama dalam memantau secara ketat aktivitas militer China di Laut Cina Selatan.
Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei semuanya mengklaim kedaulatan atas laut yang kaya sumber daya ini.
Tambahan muatan kapal senilai 3 triliun dollar AS melewati wilayah tersebut setiap tahunnya.
Karena ada tumpang tindih antara klaim kedaulatan China atas Laut Cina Selatan dan klaim Indonesia atas zona ekonomi eksklusif.
Indonesia telah berulang kali mengusir kapal penjaga pantai dan kapal penangkap ikan China dari zona ekonomi eksklusifnya.
Namun pada saat yang sama, hubungan ekonomi, perdagangan, dan investasi antara Indonesia dan China juga berkembang.
Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara bahwa Indonesia tidak ingin memihak dalam konflik.
Karena khawatir dengan meningkatnya ketegangan antara kedua negara adidaya tersebut dan militerisasi Laut Cina Selatan.
“Kami tidak ingin memihak,” katanya kepada Reuters dalam sebuah wawancara pada bulan September 2020.
“Apa yang ingin ditunjukkan Indonesia adalah bahwa kami siap menjadi mitra Anda,” ujarnya.
Sementara itu, sikap berani Indonesia tersebut mendapatkan beberapa komentar dari para ahli dan dipuji sebagai tindakan yang berani.
Menurut Asia One, pada 20 Oktober 2020, dalam artikel berjudul “Indonesia tolak permintaan AS untuk menampung pesawat mata-mata.”
Meski Indonesia memiliki pendekatan strategis terhadap AS dalam mengekang ambisi Tiongkok,
Dino Patti Djalal, mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat, mengatakan bahwa “kebijakan anti-Tiongkok yang sangat agresif dari AS telah membuat Indonesia dan kawasan tersebut gelisah.”
“Hal itu dianggap tidak pada tempatnya,” katanya kepada Reuters.
“Kami tidak ingin tertipu oleh kampanye anti-Tiongkok. Tentu saja kami mempertahankan kemerdekaan kami, tetapi ada keterlibatan ekonomi yang lebih dalam dan Tiongkok sekarang menjadi negara yang paling berdampak di dunia bagi Indonesia.” jelasnya.
Greg Poling, analis Asia Tenggara dari Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berpusat di Washington DC, mengatakan upaya mendapatkan hak pendaratan bagi pesawat mata-mata merupakan contoh dari tindakan yang ceroboh dan melampaui batas.
“Ini merupakan indikasi betapa sedikitnya pemahaman orang-orang di pemerintahan AS tentang Indonesia,” katanya kepada Reuters.
“Ada batasan yang jelas tentang apa yang dapat Anda lakukan, dan jika menyangkut Indonesia, batasan itu adalah mengerahkan pasukan di darat,” sambungnya.
Laporan: iwanpose