TintaOtentik.co – Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan tajam pada perdagangan Jumat (5/5) di pasar spot. Setelah dibuka menguat tipis di awal sesi, mata uang Garuda melesat hingga mencapai level Rp16.458 per dolar AS pada siang hari, menjadikannya posisi terkuat sejak 18 Maret lalu.
Kenaikan signifikan ini berhasil menutupi seluruh depresiasi yang terjadi selama masa gejolak pasar, menyusul ketidakpastian global yang dipicu oleh keputusan tarif dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada bulan sebelumnya.
Sentimen positif dari luar negeri menjadi pendorong utama reli mata uang rupiah. Meredanya tensi perang dagang, terutama setelah Tiongkok memberikan sinyal positif terhadap inisiatif negosiasi dari pihak AS — untuk pertama kalinya sejak konflik memanas — menciptakan optimisme baru di kalangan pelaku pasar global.
Meskipun indeks dolar AS masih bertahan di kisaran angka 100, minat investor mulai bergeser ke instrumen berisiko seperti saham dan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
Sejalan dengan penguatan rupiah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mencatatkan kinerja positif, menutup sesi pertama perdagangan hari ini dengan kenaikan 0,34% ke level 6.789.
Sementara itu, pasar obligasi negara menunjukkan pergerakan yang cenderung stabil. Imbal hasil surat utang tenor pendek (1 tahun) mengalami penurunan 7,8 basis poin ke level 6,293%. Untuk tenor 5 tahun dan 10 tahun, yield bergerak naik tipis masing-masing sebesar 0,5 basis poin ke level 6,638% dan 6,880%.
Kini perhatian investor global tertuju pada laporan terbaru pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang dijadwalkan rilis malam ini. Apabila pertumbuhan lapangan kerja di AS berada di bawah ekspektasi, maka tekanan terhadap dolar AS kemungkinan akan meningkat.
Ekspektasi terhadap potensi pemangkasan suku bunga acuan AS pun bisa menguat, membuka ruang lebih lebar bagi penguatan lanjutan rupiah. Secara teknikal, setelah berhasil melewati level resistance penting di Rp16.500 per dolar AS, rupiah kini berpeluang menuju area penguatan berikutnya di kisaran Rp16.200 per dolar AS.
Inflasi Tinggi dan Peluang Penurunan BI Rate
Pada hari yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi bulan April yang tercatat sebesar 1,95% secara tahunan (year-on-year), merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2024. Kenaikan ini terjadi meskipun periode Lebaran telah berlalu.
Kendati demikian, peluang Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga acuan (BI rate) pada bulan Mei dinilai masih terbuka. Penguatan nilai tukar rupiah memberikan ruang tambahan bagi pelonggaran kebijakan moneter guna merespons tekanan perlambatan ekonomi.
Kebutuhan akan langkah stimulus tambahan semakin nyata, terlebih setelah S&P Global merilis data aktivitas manufaktur nasional yang merosot tajam ke zona kontraksi. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat sebesar 46,7 pada April, jauh di bawah capaian Maret yang berada di angka 52,4 — menjadikannya level terendah sejak 2021.
Bank Indonesia sendiri telah mempertahankan suku bunga acuannya selama tiga bulan berturut-turut. Terakhir kali BI menurunkan suku bunga adalah pada Januari, sebuah keputusan yang cukup mengejutkan pasar saat itu. Langkah tersebut ditahan lantaran tekanan terhadap rupiah masih besar, terutama dari derasnya arus keluar dana asing di pasar saham.
Namun kini, dengan mulai stabilnya kurs rupiah, peluang untuk kembali menurunkan BI rate dalam waktu dekat semakin besar, sebagai bagian dari upaya mendukung pemulihan ekonomi di tengah tantangan eksternal.
